Modal Burger Menu

Tak Lagi Berumur Seribu Tahun

Kantong belanjaan itu memang bukan sembarang plastik, dan mulai digunakan para pedagang eceran modern di Indonesia. Teknologi plastik yang ditemukan Tirta Marta, perusahaan dari Tangerang, ini dipasarkan dengan merek Oxium, dan resmi diperkenalkan kepada publik dua pekan lalu. Teknologi ini sangat mencolok kelebihannya dibanding plastik konvensional. “Dari perlu seribu tahun untuk terurai, menjadi dua tahun,” kata Presiden Direktur Tirta Marta, Sugianto Tandio. Di Indonesia, baru Tirta Marta yang menguasai teknologinya. Sedangkan di dunia hanya dua nama beken yang memasarkan teknologi serupa, yakni EPI dari Kanada dan D2W dari Inggris, karena memang tidak gampang membuatnya. Tirta Marta butuh delapan tahun untuk melakukan riset. Biayanya? “Butuh jutaan dolar,” kata Sugianto. Bagi perusahaan Indonesia, menghabiskan jutaan dolar untuk riset cukup ganjil. Tapi Sugianto-sebelum bergabung dengan Tirta Marta-memiliki pengalaman bekerja dengan perusahaan yang divisi risetnya menjadi tulang punggung, yakni 3M. Selepas wisuda S-2 di Universitas Dakota Utara, Amerika Serikat, Sugianto bekerja di 3M mulai 1989. Perusahaan yang berkantor di Minnesota, Amerika, ini terkenal karena hidup dari produk hasil risetnya. Temuannya mulai dari lembar kertas pesan berperekat Post-it note sampai plester luka tahan air. Tidak sembarang riset dan temuan bisa menjadi duit. “Sekitar 90 persen nomor (temuan) paten itu tidak dimanfaatkan,” kata Sugianto. Pengalaman di 3M menunjukkan bahwa dari awal harus diperhitungkan apakah temuan hasil riset bisa dibuat atau tidak, bisa dipasarkan atau tidak, dan seberapa besar konsumennya. Sugianto membawa pengalaman di 3M saat kembali ke kampung halamannya pada 1994 dan bekerja di Tirta Marta, yang sejak 1971 sudah membuat plastik. Di pabrik plastik yang biasa memasok produk ke perusahaan besar seperti Unilever ini Sugianto menggerakkan riset. Ia kemudian memikirkan plastik ramah lingkungan, yang bisa hancur sendiri setelah dibuang. Plastik, biarpun tidak beracun, memang mengganggu jika dibuang, karena awetnya ampun-ampunan. Daya tahan plastik ini, kata Sugianto, “Karena kestabilan fisikokimia yang sangat kuat.” Struktur plastik berupa polimer dengan unsur utama karbon dan hidrogen. Kita bisa membayangkan polimer itu sebagai rantai, sedangkan karbon sebagai anak rantainya yang terikat erat. Nah, setiap karbon itu akan tersambung dengan hidrogen. Kaitan antara karbon dan karbon atau karbon dan hidrogen sangat teguh, sulit dicerai-beraikan. Tidak hanya plastik. Polimer di alam, misalnya tanduk, juga sangat awet, tidak gampang berubah bentuk. Tidak mengherankan, beberapa barang yang sekarang dibuat dari plastik, seperti sisir, di masa lalu dibuat dari tanduk, misalnya serit di Jawa. Selain awet, plastik sangat murah sehingga dipakai di mana-mana. Jauh lebih murah dari tanduk, misalnya. Sebagai gambaran, rata-rata toko Indomaret menggunakan kantong plastik 48 kilogram sebulan untuk pelanggan mereka. “Per tahun pemakaiannya (total di Indomaret) sekitar 3.600 ton,” kata Laurensius Tirta Widjaja, Direktur Pemasaran Indomarco Prismatama-perusahaan pengelola Indomaret. Perhitungan Tirta Marta, setiap tahun kira-kira tiga juta ton plastik digunakan di Indonesia. Tak aneh bila plastik menjadi masalah di tempat pembuangan sampah karena-meski sebagian tidak beracun-memenuhi tempat itu. Plastik susah menjadi busuk atau terurai. Berbeda dengan kertas, misalnya. Setelah bersusah payah delapan tahun melakukan riset, Tirta Marta mengembangkan zat yang membuat plastik tidak lagi seawet sebelumnya. Zat ini dicampur dalam proses pembuatan plastik. Zat ini membuat plastik lebih mudah terurai. Tirta Marta tidak bersedia menyebut zat tambahan ini. “Ini rahasia,” kata Sugianto. “Anda mau bayar berapa (sebagai bayaran riset delapan tahun kami)?” Setelah zat tambahan dicampurkan dalam bahan pembuat plastik, karbon dan hidrogen tidak lagi sekukuh sebelumnya. Jika terkena oksigen dari udara, sinar matahari, atau panas, plastik ini akan berubah menjadi karbon dioksida dan air serta biomassa yang tidak berbahaya bagi tanah. Proses penguraian bisa dipercepat, bisa pula diperlambat. Tirta Marta memilih angka dua tahun agar plastik yang mereka buat tidak cepat rusak. Jika cepat rusak, toko pengguna bisa berpikir lebih dulu. “Masa urai membutuhkan waktu 24 bulan sehingga tidak mengganggu alokasi pemakaian,” kata Laurensius. Selain model aditif, di dunia ada plastik mudah terurai yang dibuat dari tanaman berkarbohidrat seperti jagung atau singkong. Untuk plastik dari singkong, Anda bahkan bisa membuat sendiri dengan melihat resep sederhananya di Internet. Selain dari singkong, plastik alam yang populer di negara maju terbuat dari jagung. Tapi plastik jagung memiliki kelemahan mencolok. “Bisa lebih mahal 500 persen,” kata Sugianto. Selisih harga plastik yang gampang terurai dan yang awetnya sampai seribu tahun tidak banyak berbeda, karena plastik ini bahan dasarnya dari sisa tambang minyak seperti aspal. “Perbedaan harga sekitar lima persen antara plastik biasa dan Oxium,” kata Laurensius. Lima persen tentu jumlah yang cukup besar bagi pengecer. Karena itu, Carrefour mengakali dengan cara lain. “Kalau Anda lihat, gambarnya sekarang kan hanya satu warna dan satu sisi,” kata Hendri Satrio, juru bicara Carrefour Indonesia. Semula tas Carrefour itu memiliki gambar dengan dua warna-merah dan biru-di kedua sisinya. Perusahaan yang pertama kali menggunakan Oxium adalah Indomaret. Mulanya Indomaret sendiri yang berusaha mencari plastik ramah lingkungan. Dengan bertanya ke sana-sini dan menelusuri Internet, mereka menemukan Oxium. Mereka mulai menggunakannya tahun lalu setelah menguji cobanya di laboratorium. (Nur Khoiri, TEMPO Eds.9-15 Agustus 2010)